Screemo – Laptop Chromebook kini menjadi pusat perhatian publik karena keterlibatannya dalam skandal besar pengadaan perangkat pendidikan. Mantan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook untuk program digitalisasi sekolah. Dugaan kuat muncul karena pengadaan perangkat ini dinilai dipaksakan, mengabaikan kebutuhan teknis di banyak daerah. Kejaksaan Agung menyebutkan bahwa kebijakan tersebut merugikan negara hingga hampir dua triliun rupiah. Kebijakan yang mengarah secara spesifik ke Chromebook dikritik karena dianggap tidak memperhatikan akses internet di berbagai wilayah. Proses hukum terus bergulir, dan kasus ini membuka mata publik tentang bagaimana proyek digitalisasi dapat disalahgunakan. Skandal ini bukan hanya soal perangkat, tetapi soal transparansi, kepentingan publik, dan tanggung jawab moral seorang pejabat negara dalam mengelola anggaran pendidikan.
Laptop Chromebook dikenal sebagai perangkat ringan berbasis sistem operasi ChromeOS yang mengandalkan komputasi awan. Chromebook memiliki banyak keunggulan seperti harga lebih murah dibanding laptop Windows atau Mac, daya tahan baterai lama, dan proses booting cepat. Dalam dunia pendidikan, Chromebook sering dianggap cocok karena mudah digunakan dan hemat biaya perawatan. Namun, dalam kasus Nadiem Makarim, perangkat ini menuai kontroversi karena kebijakan pengadaannya dianggap tidak transparan. Laptop Chromebook diklaim sebagai solusi digitalisasi sekolah, tetapi banyak pihak mempertanyakan apakah itu pilihan terbaik untuk daerah dengan infrastruktur internet lemah. Selain itu, beberapa aplikasi Chromebook tetap bisa digunakan secara offline, seperti Google Docs dan Gmail, namun tetap bergantung pada koneksi internet untuk sinkronisasi data. Meski ada fitur unggulan, kritik terhadap ketidaksesuaian teknologi dengan kondisi lapangan tetap bergulir di tengah publik.
“Baca juga: Telkomsel Kena Retas? Pengguna Dibuat Panik dengan Pesan “NO SYSTEM IS SAFE”!”
Pengadaan Chromebook dalam program pendidikan nasional disebut telah diatur untuk menguntungkan pihak tertentu. Nadiem Makarim diduga memaksakan penggunaan Chromebook melalui aturan teknis yang hanya bisa dipenuhi oleh perangkat dengan ChromeOS. Dugaan ini diperkuat oleh dokumen yang mengungkap adanya pertemuan intensif antara Kementerian dan pihak Google Indonesia sebelum pengadaan dilakukan. Spesifikasi yang dirancang terlalu spesifik diduga telah menghilangkan peluang bagi perangkat lain untuk ikut dalam lelang terbuka. Kejagung menemukan bahwa proses ini berpotensi melanggar Peraturan Presiden serta pedoman pengadaan dari LKPP. Skema yang dijalankan bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga melemahkan integritas sistem pengadaan barang dan jasa. Kasus ini pun menjadi simbol buruknya tata kelola proyek digital di Indonesia, khususnya yang menyangkut dana pendidikan.
Kejaksaan Agung menyebut bahwa kerugian negara akibat proyek Chromebook ini mencapai hampir Rp2 triliun. Dana tersebut berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dana alokasi khusus yang seharusnya digunakan secara transparan untuk kebutuhan pendidikan. Penahanan Nadiem Makarim selama 20 hari di Rutan Salemba dilakukan untuk mendalami alur pengadaan dan aliran dana proyek. Kasus ini juga melibatkan sejumlah pejabat lain yang ikut dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan pengadaan. Regulasi yang dilanggar mencakup Perpres Nomor 123 Tahun 2020 serta aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Kerugian bukan hanya dari sisi keuangan, tetapi juga dari kepercayaan masyarakat terhadap program digitalisasi nasional. Langkah hukum ini diharapkan membuka jalan bagi reformasi sistem pengadaan yang lebih akuntabel dan berorientasi pada kebutuhan riil di lapangan.
Chromebook telah banyak digunakan di berbagai negara sebagai solusi pendidikan digital, terutama selama pandemi. Negara-negara seperti Amerika Serikat dan India mengandalkan perangkat ini untuk mendukung pembelajaran jarak jauh karena kemudahan pengoperasian dan biaya rendah. Fitur otomatis seperti sinkronisasi data ke Google Drive dan pembaruan sistem latar belakang menjadikan Chromebook pilihan favorit di banyak sekolah. Namun, ketergantungan pada internet tetap menjadi kendala utama di daerah yang belum memiliki infrastruktur digital memadai. Dalam konteks Indonesia, penggunaan Chromebook tanpa kajian lokal menimbulkan masalah serius, seperti yang terlihat dalam kasus Nadiem Makarim. Pelajaran dari peristiwa ini penting untuk dijadikan acuan dalam menyusun kebijakan pendidikan berbasis teknologi. Keputusan digitalisasi harus berbasis pada kebutuhan, kesiapan, dan potensi manfaat jangka panjang bagi peserta didik dan institusi pendidikan.